PERGAULAN LAKI - LAKI DENGAN PEREMPUAN menurut AL-QUR'AN



" PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN "           

PERTANYAAN  :

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh  tidaknya) laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak keluar  dari  rumah  kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid pun   mereka   dimakruhkan.   Sebagian   lagi    ada    yang mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang diperbuat  kaum  wanita  sepeninggal  beliau, niscaya beliau melarangnya pergi ke masjid."

Kiranya sudah tidak samar  bagi  Ustadz  bahwa  wanita  juga perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar, bekerja, dan bersama-sama  di  pentas  kehidupan.  Jika  itu terjadi,  sudah  tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki, yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan  kerja, direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan  kami,  apakah  setiap pergaulan antara laki-laki dengan perempuan itu terlarang atau  haram?  Apakah  mungkin wanita  akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang kehidupan  sudah  bercampur  aduk  sedemikian  rupa?  Apakah wanita  itu  harus  selamanya  dikurung  dalam sangkar, yang meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih  sebuah  penjara? Mengapa  laki-laki  diberi  sesuatu  (kebebasan)  yang tidak diberikan   kepada   wanita?   Mengapa    laki-laki    dapat bersenang-senang   dengan   udara  bebas,  sedangkan  wanita terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu dialamatkan   kepada  wanita,  padahal  kualitas  keagamaan, pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah  dari pada laki-laki?

Wanita   -   sebagaimana   laki-laki   -  punya  agama  yang melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan  hati  nurani (an-nafs    al-lawwamah)    yang    mengontrolnya.   Wanita, sebagaimana laki-laki, juga punya  gharizah  atau  keinginan yang  mendorong  pada  perbuatan  buruk  (an-nafs al-ammarah bis-su). Wanita dan laki-laki  sama-sama  punya  setan  yang dapat  menyulap  kejelekan  menjadi keindahan serta membujuk rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan  yang  ketat untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami  mohon  Ustadz  berkenan  menjelaskan  masalah ini, dan bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana pandangan  syariat  terhadap  masalah  ini?  Atau, bagaimana ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih,  bukan  kata si Zaid dan si Amr.

Semoga  Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya.


JAWABAN   :

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering  saya  kemukakan  - ialah   bahwa  dalam  memandang  berbagai  persoalan  agama, umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath  (berlebihan) dan  tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap tawassuth   (pertengahan)   yang   merupakan   salah    satu keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam. Sikap  demikian  juga  sama  ketika mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal   ini,   ada   dua   golongan   masyarakat  yang  saling bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama,  golongan  yang  kebarat-baratan  yang  menghendaki wanita  muslimah  mengikuti  tradisi Barat yang bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta  jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul  dan  menurunkan  kitab-kitab-Nya  untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka  menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan wanita  Barat  "sejengkal  demi  sejengkal,   sehasta   demi sehasta"  sebagaimana  yang  digambarkan  oleh  hadits Nabi, sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk  ke  lubang biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar,  sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah lahir "solidaritas"  baru  yang  lebih  dipopulerkan dengan istilah "solidaritas lubang biawak."

Mereka  melupakan  apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang  ditimbulkan  oleh  pergaulan  bebas itu,  baik  terhadap  wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat.    Mereka    sumbat    telinga    mereka    dari kritikan-kritikan  orang yang menentangnya yang datang silih berganti dari seluruh penjuru  dunia,  termasuk  dari  Barat sendiri.  Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang,  kaum  intelektual,  dan   para   muslihin   yang mengkhawatirkan  kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat, terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara  laki-laki dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka   lupa  bahwa  tiap-tiap  umat  memiliki  kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya  terhadap alam  semesta,  kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat  melampaui tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua,  golongan  yang  mengharuskan  kaum  wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan  lain,  yaitu  tradisi  Timur,  bukan tradisi  Barat.  Walaupun  dalam  banyak  hal  mereka  telah dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak  lebih kokoh  daripada  agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim dan petunjuk  Nabi  saw.  serta  sikap  dan  pandangan  para sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin   saya   katakan   disini   bahwa   istilah  ikhtilath (percampuran)  dalam  lapangan  pergaulan  antara  laki-laki dengan  perempuan  merupakan  istilah  asing yang dimasukkan dalam  "Kamus  Islam."  Istilah  ini  tidak  dikenal   dalam peradaban  kita  selama  berabad-abad  yang  silam, dan baru dikenal  pada  zaman  sekarang  ini  saja.   Tampaknya   ini merupakan  terjemahan  dari  kata  asing yang punya konotasi tidak  menyenangkan terhadap perasaan umat Islam.  Barangkali lebih   baik  bila  digunakan  istilah  liqa'  (perjumpaan), muqabalah  (pertemuan),   atau   musyarakrah   (persekutuan) laki-laki dengan perempuan.

Tetapi  bagaimanapun  juga,  Islam  tidak  menetapkan  hukum secara   umum   mengenai   masalah   ini.    Islam    justru memperhatikannya  dengan  melihat  tujuan  atau kemaslahatan yang    hendak    diwujudkannya,    atau     bahaya     yang dikhawatirkannya,  gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.

Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah  petunjuk  Nabi Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya  ia  akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:

"Kami diperintahkan  keluar  (untuk  menunaikan  shalat  dan mendengarkan  khutbah)  pada  dua  hari  raya, demikian pula wanita-wanita pingitan dan para gadis."

Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar  kaum  wanita pada  hari  raya  Fitri  dan Adha, yaitu wanita-wanita muda, wanita-wanita yang sedang haid,  dan  gadis-gadis  pingitan. Adapun   wanita-wanita   yang   sedang  haid,  mereka  tidak mengerjakan  shalat,  melainkan  mendengarkan  nasihat   dan dakwah  bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu Athiyah) bertanya, 'Ya  Rasulullah  salah  seorang  diantara kami  tidak  mempunyai  jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam  di  semua negara   Islam,  kecuali  yang  belakangan  digerakkan  oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan  sebagian  sunnah-sunnah  Nabi  saw. yang telah dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf  pada  sepuluh  hari terakhir  bulan  Ramadhan  dan  sunnah kehadiran kaum wanita pada shalat Id.

Kaum  wanita  juga  menghadiri   pengajian-pengajian   untuk mendapatkan  ilmu  bersama  kaum laki-laki di sisi Nabi saw. Mereka  biasa  menanyakan  beberapa  persoalan  agama   yang umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi  oleh  rasa malu  untuk  memahami  agamanya,  seperti menanyakan masalah jinabat,  mimpi  mengeluarkan  sperma,  mandi  junub,  haid, istihadhah, dan sebagainya.

Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga meminta   kepada   Rasulullah  saw.  agar  menyediakan  hari tertentu untuk mereka, tanpa disertai  kaum  laki-laki.  Hal ini  mereka  nyatakan  terus  terang kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah,  kami  dikalahkan  kaum  laki-laki  untuk bertemu  denganmu,  karena  itu  sediakanlah untuk kami hari tertentu  untuk  bertemu  denganmu."  Lalu  Rasulullah  saw. menyediakan  untuk  mereka  suatu hari tertentu guna bertemu dengan   mereka,   mengajar   mereka,    dan    menyampaikan perintah-perintah kepada mereka.

Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para  mujahid,  sesuai dengan  kemampuan  mereka dan apa yang baik mereka kerjakan, seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum.
Kita  tidak  boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada  zaman  sebelum kita   (Islam)  sehingga  kita  tidak  perlu  mengikutinya." Bagaimanapun, kisah-kisah yang  disebutkan  dalam  Al-Qur'an tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran  sehat.  Karena  itu,  perkataan yang  benar  mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an  dan  As-Sunnah adalah  menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak menghapusnya."

Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi  petunjuk  oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)

Sesungguhnya  menahan  wanita  dalam rumah dan membiarkannya terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari rumah  oleh  Al-Qur'an  -  pada  salah  satu  tahap diantara tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang menetapkan  bentuk  hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu  -  ditentukan  bagi  wanita  muslimah  yang   melakukan perzinaan.  Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah   ada   empat  orang  saksi  diantara  kamu  (yang menyaksikannya).  Kemudian  apabila  mereka  telah   memberi persaksian,  maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui  ajalnya,  atau  sampai  memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )

Setelah  itu  Allah  memberikan jalan bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara' sebagai  hak  Allah  Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus kali)  bagi  ghairu  muhshan  (laki-laki  atau wanita  belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang  sudah  kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.

Jadi,  bagaimana  mungkin  logika  Al-Qur'an  dan Islam akan menganggap sebagai tindakan  lurus  dan  tepat  jika  wanita muslimah  yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya? Jika kita melakukan  hal  itu,  kita  seakan-akan menjatuhkan  hukuman  kepadanya  selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.

KESIMPULAN

Dari penjelasan  di  atas,  kita  dapat  menyimpulkan  bahwa pertemuan  antara  laki-laki  dengan  perempuan tidak haram, melainkan  jaiz  (boleh).  Bahkan,  hal  itu   kadang-kadang dituntut  apabila  bertujuan  untuk  kebaikan, seperti dalam urusan  ilmu  yang  bermanfaat,   amal   saleh,   kebajikan, perjuangan,  atau  lain-lain  yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun,  kebolehan  itu  tidak  berarti   bahwa   batas-batas diantara  keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap  diri  kita sebagai  malaikat  yang  suci  yang  dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun  tidak  perlu  memindahkan  budaya Barat  kepada  kita.  Yang  harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta  tolong-menolong  dalam  kebajikan dan  takwa,  dalam  batas-batas  hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
 
  • Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak    boleh melihat aurat, tidak boleh memandang  dengan syahwat,    tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. 
Allah    berfirman: 
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara    kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi    mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang    mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara    kemaluannya ..." (an-Nur : 30-31).

  • Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka    dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan   potongan yang menampakkan bentuk tubuh. 
Allah berfirman:
"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali    yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka    menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
  
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang    biasa tampak ialah muka dan tangan. Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan :
  
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk  dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." ( al-Ahzab : 59 )
  
   Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang    baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang    baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,    sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang    yang melihatnya untuk menghormatinya. 
  • Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,  terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki :
  • Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu   dan membangkitkan rangsangan. 
 Allah berfirman :
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga    berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan    ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab : 32).
  
  • Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. 
 Firman    Allah :
"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui    perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)"
  
   Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah    dengan firman-Nya :
  
   "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua   wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)"
  
  • Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,   
seperti yang disebut dalam hadits:
  
   "(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan    menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan   (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)"
   
  • Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) 
 sebagaimana    yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun    jahiliah modern.
  • Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna    perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan    dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
  • Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa   disertai mahram
Banyak hadits sahih yang melarang hal ini,  seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.' 
  • Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi :
  
   "Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)    bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,   " Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
  
   Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat    menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk    berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
  
  • Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk    bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan  wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau   melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga    dan mendidik anak-anak.


Catatan kaki:

1. Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 .Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 .Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 .Shahih Muslim, nomor 1811.
5 .Shahih Muslim, nomor 1809.
6 .Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 .Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits  di atas. (penj.).
8 .Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.     Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau  memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan   dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat   seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-   lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir   rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.   Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.   Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya   dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya  (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).





SUMBER : 
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
http://media.isnet.org/index.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar